Selasa, 21 Juli 2009

Perekonomian Relatif Tenang

Kompas Selasa, 21 Juli 2009 | 03:03 WIB

Jakarta, Kompas - Perekonomian Indonesia relatif tenang pascaledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, 17 Juli lalu. Laporan intelijen yang akurat, yang diikuti dengan keberhasilan aparat mengungkap pelaku peledakan bom, akan semakin meyakinkan pelaku pasar.

Perekonomian Indonesia yang relatif tenang terlihat antara lain dari nilai tukar rupiah pada 18 Juli 2009 yang berada di level Rp 10.135 per dollar AS. Nilai ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan asumsi rata-rata yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 versi dokumen stimulus fiskal Rp 11.000 per dollar AS. Nilai rupiah pada Jumat setelah ledakan bom sempat melemah dari Rp 10.140 menjadi Rp 10.250 per dollar AS sebelum kembali menguat pada akhir perdagangan.

Sementara itu, indeks harga saham gabungan atau IHSG sempat jatuh 57 poin atau 2,7 persen menjadi 2.060 pada awal perdagangan hari Jumat. Namun, IHSG menguat lagi dan ditutup pada 2.106, turun 11 poin atau 0.55 persen dari hari Kamis.
”Asal tidak ada guncangan keamanan lagi, rupiah dan indikator ekonomi lain bisa relatif stabil setelah teror bom kemarin. Pengalaman Jakarta (tahun 2003) menunjukkan hal itu,” ujar ekonom Dradjad H Wibowo di Jakarta, Minggu (19/7).

Menurut Dradjad, nilai tukar rupiah juga relatif stabil karena banyak fund manager (pengelola dana) berlibur dan sudah mengambil posisi jangka panjang pada investasinya sebelum peledakan bom terjadi. Meski demikian, yang harus menjadi catatan penting adalah laporan intelijen yang masuk ke presiden harus benar-benar akurat dan proporsional.

”Laporan intelijen yang dikutip Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (pada hari bom meledak) menimbulkan rasa tidak nyaman di pasar. Apa betul ada teror terkait pemilihan umum presiden 8 Juli 2009? Aparat intelijen jangan memberikan laporan yang tidak akurat agar pasar tidak gelisah,” ujar Dradjad.

Tak perlu khawatir

Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Fuad Rahmani mengatakan, berdasarkan pengalaman peledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta, Agustus 2003, dampak terhadap pergerakan pasar modal hanya berlangsung satu hari. Atas dasar itu, investor tidak perlu khawatir akan adanya guncangan keamanan pada 17 Juli 2009 itu. ”Pemerintah agar melakukan semua upaya yang diperlukan supaya kondisi keamanan tetap terjaga,” ujarnya.

Pada peristiwa ledakan bom 5 Agustus 2003 di Hotel JW Marriott, IHSG di bursa efek turun 3,05 persen dan nilai tukar rupiah anjlok 125 poin menjadi Rp 8.630 per dollar AS. IHSG jatuh cukup besar hingga 10,36 persen saat terjadi ledakan bom Bali I tahun 2002 dengan korban 202 tewas.

Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, jika pertanyaan dan spekulasi tentang pelaku peledakan tidak segera mendapatkan jawaban yang akurat, suasana tidak kondusif di dalam negeri bisa berkepanjangan. Suasana yang tidak kondusif akan menimbulkan kesulitan bagi kita dalam upaya menghentikan proses pendalaman krisis.

Jangan menyederhanakan masalah suasana kondusif dengan hanya memotret fluktuasi nilai tukar rupiah atau IHSG di bursa efek. Menurut Bambang, kalau hanya mengacu pada dua indikator itu, hal itu tidak komprehensif. Stabilitas posisi rupiah dan IHSG tidak akan mampu mencegah kesan instabilitas yang terbangun dari ledakan bom itu.

”Kadang kita lebih suka menghibur diri sendiri dengan menunjuk stabilitas rupiah dan IHSG sebagai refleksi keyakinan asing terhadap negeri ini. Padahal, memotret persepsi orang lain jauh lebih penting karena lebih obyektif serta akan memban¬tu kita memperbaiki keadaan,” ujar Bambang.

Penerbangan normal

Empat hari pascaledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, penerbangan internasional dari dan menuju ke Indonesia terbilang masih normal. Tidak dilaporkan adanya eksodus besar-besaran ke luar negeri. Sebaliknya juga tak ada pembatalan besar-besaran atas penerbangan menuju Indonesia.

”Kondisi penerbangan internasional normal, hampir tak ada gejolak berarti. Ini berbeda dengan bom Bali I pada Oktober 2002, ketika penerbangan internasional Garuda anjlok 30-40 persen,” kata VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Pujobroto, Senin.

Dari data statistik terlihat jumlah penumpang internasional terus naik dari tahun ke tahun. Tahun 2008 tercatat 4,1 juta orang, tahun 2007 tercatat 2,99 orang, dan tahun 2006 tercatat 2,73 juta orang.

Pujobroto mengatakan, kini penumpang memesan tiket 4-5 bulan sebelumnya. Maka, waktu bepergian pun sudah pasti. Demikian pula dengan sejumlah agenda pertemuan.

”Saat bom Bali I, misalnya, warga asing di Bali dan kota besar lainnya relatif panik dan langsung membeli tiket pulang, tapi kini hampir tak terlihat kondisi itu. Mungkin warga dunia sekarang sudah lebih siap menghadapi berita-berita bom,” kata Pujobroto.

Garuda Indonesia saat ini melayani penerbangan ke kota-kota dunia, seperti Tokyo, Singapura, Brisbane, Sydney, Perth, Riyadh, Jeddah, Ho Chi Minh City, Seoul, Hongkong, Doha, Kuala Lumpur, Bangkok, dan Beijing.

Direktur Umum Lion Air Edward Sirait juga mengakui penerbangan internasional Lion Air berlangsung normal saja. Maskapai ini terbang ke Penang, Kuala Lumpur, Ho Chi Minh City, atau Singapura. ”Belum tampak adanya return, penerbangan balik ke luar negeri, yang dipercepat dalam jumlah massal. Kami belum tahu penyebabnya. Bisa jadi karena ada pertemuan bisnis yang sangat penting atau penumpang internasional tidak takut bom,” ujar Edward.

Hal senada dikatakan Marketing Manager Indonesia Air Asia, Andy Adrian. ”Saya terbang ke Kuala Lumpur Senin pagi. Tak ada kepanikan dari penumpang yang akan pergi ke luar negeri. Sebaliknya, penumpang dari Kuala Lumpur ke Jakarta juga relatif penuh,” katanya.

Dari Perth, Australia, Direktur Indonesia Air Asia Widijastoro Nugroho, yang membuka rute penerbangan Perth-Denpasar, tepat pada hari ledakan bom di Jakarta, mengatakan, tantangan besar bagi Indonesia untuk mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap keamanan di Indonesia.

"Tingkat keterisian pesawat dari Denpasar ke Perth hingga 10 hari ke depan mencapai 100 persen. Ini menunjukkan permintaan yang tinggi dan harus dipertahankan,” kata Widijastoro.

Edward berpandangan berbeda. ”Penumpang internasional menuju Indonesia umumnya berasal dari penerbangan regional, bukan long haul atau jarak jauh. Jadi, kesamaan budaya dan sosial politik membuat penumpang tak terlalu peka dengan berita pengeboman,” ujarnya[1].

(OIN/FAJ/RYO)



[1] http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/21/03030716/Perekonomian.Relatif.Tenang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar